5 Hari Lagi - Sebelum Event Webinar Executive Forum: Strategi Sukses Memimpin Kampus dan Meningkatkan Kualitas Pendidikan Tinggi di Jawa Dimulai.

Selengkapnya
Kontak Kami

Dunia Kampus • 13 Sep 2022

Pembelajaran Daring di Kampus: Putus atau Terus?

Fadhol SEVIMA

Penulis: Akhmad Idris

Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Dan Sastra Satya Widya (STIBA-SATYAWIDYA)

Seiring dengan kabar penurunan penyebaran virus Covid-19 dan peningkatan sebaran vaksinasi, empat menteri menerbitkan Keputusan Bersama terkait panduan pelaksanaan pembelajaran di masa pandemi yang secara garis besar dianjurkan untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka. Kendati dianjurkan untuk menggelar PTM 100 persen, wilayah-wilayah yang masih berstatus PPKM level 3 dan 4 tetap diwajibkan menyelenggarakan PTM 50 persen setiap harinya secara bergantian dengan moda pembelajaran campuran. Satu pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan jawabannya mulai sekarang adalah jika pandemi telah benar-benar pamit pergi dari bumi pertiwi, pembelajaran daring sebaiknya dihentikan atau diteruskan? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipertimbangkan alasan dari setiap kemungkinan agar tidak timbul penyesalan kemudian.

Mengapa Harus Putus?

Kemungkinan yang pertama adalah memutus pembelajaran daring saat pandemi telah benar-benar pergi. Kemungkinan ini perlu dipertimbangkan karena beberapa alasan, yakni ketidakmerataan fasilitas pembelajaran daring di seluruh Indonesia; kebosanan para peserta didik; peralihan peran pelajar dari anak ke orang tua; hingga kecanduan gawai. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 8-15 Agustus 2020, sebagian besar guru belum bisa menggunakan aplikasi kelas daring atau LMS (Learning Management System), terlebih di daerah 3T. Fakta yang terjadi di lapangan justru sangat ironi. Ada siswa yang harus mendaki bukit untuk mendapatkan sinyal, ada juga yang harus memanjat pohon, bahkan ada yang harus menaiki menara masjid (yang berujung pada kematian). Menilik fakta-fakta ini, agaknya yang perlu dibenahi terlebih dahulu sebelum pembelajaran daring itu sendiri adalah pemerataan fasilitas di seluruh wilayah Indonesia. Logika sederhananya seperti ini, sebelum seseorang membayangkan dapat menikmati olahan ikan gurame asam manis, dipastikan terlebih dahulu bahwa telah tersedia uang untuk membeli bahan masakan atau menu siap makan dari restoran. 

Lain halnya dengan wilayah-wilayah yang tidak terkendala masalah jaringan. Jika di wilayah 3T para peserta didik dengan semangat mencari tempat-tempat yang dihuni sinyal, maka di wilayah yang dipenuhi sinyal para peserta didik justru sibuk mengeluhkan rasa bosan. Para peserta didik tak dapat menikmati pembelajaran daring dengan asyik karena materi yang diberikan oleh pendidik hanyalah tugas-tugas yang berupa soal. Hal ini senada dengan hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 13-20 April 2020 dan 13-22 Mei 2020. Dalam survei tersebut diungkapkan bahwa sebagian besar guru melakukan pembelajaran daring dengan cara memberikan tugas yang berupa soal kepada para siswanya. Sistem pembelajaran seperti ini terjadi karena para pendidik juga kebingungan tentang cara menyampaikan materi secara interaktif dengan model pembelajaran dalam jaringan. Tak berlebihan jika Ginting (2021:57) dalam penelitiannya tentang hubungan kejenuhan belajar dengan stres akademik menyatakan bahwa tingkat korelasi antara kejenuhan belajar dan stres akademik adalah sangat kuat. Pengadaan pembelajaran daring dari rumah membuat para siswa maupun mahasiswa merasa bosan dan bisa berujung pada stres akademik.

Alasan berikutnya adalah peralihan peran pelajar yang awalnya dimiliki oleh anak, kini ketika pandemi dimiliki oleh orang tua. Suatu fenomena yang lazim ditemui di berbagai daerah bahwa saat pembelajaran daring, anak-anak sibuk bermain game online dan orang tuanya yang mengerjakan tugas dari bapak/ibu guru. Selaras dengan hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 13-20 April 2020 dan 13-22 Mei 2020. Dalam survei tersebut disebutkan bahwa pada siswa jenjang dasar (SD dan SMP), peran orang tua lebih proaktif dengan melakukan bimbingan teknis sekaligus nonteknis. Orang tua tidak sekadar menjadi motivator maupun guru ‘dadakan’, namun orang tua juga turut membantu mengerjakan tugas anaknya. Jika sudah seperti ini, maka fenomena yang terjadi adalah orang tua kembali menjadi ‘siswa’. Hal lain yang perlu mendapat perhatian saat orang tua kembali menjadi ‘siswa’ adalah ancaman kecanduan gawai terhadap anak. Pembatasan sosialisasi gegara pandemi nyatanya membuat anak-anak ‘terkurung’ di dalam rumah, sehingga satu hal bisa dilakukan untuk mengalihkan kebosanan tersebut adalah menyibukkan diri dengan memainkan gawai. Dampak negatif yang dikhawatirkan adalah anak-anak menjadi malas bersosialisasi dan terlalu bergantung dengan keberadaan gawai. Tidak jarang saya menemui anak-anak yang marah hingga menangis ketika gawai tiba-tiba disita oleh orang tuanya.

Mengapa Harus Terus?

Kemungkinan yang lain adalah tetap melanjutkan pembelajaran daring meskipun pandemi telah beranjak pergi. Alasan yang menguatkan kemungkinan ini adalah perkembangan era yang telah sampai di revolusi industri 4.0 dan tinggal menunggu waktu saja akan memasuki era society 5.0, sehingga keharusan pembelajaran daring gegara pandemi dapat menjadi momentum peningkatan literasi digital sebagai upaya menyambut era society 5.0. Jika momentum ini tidak dimanfaatkan dengan baik, maka masyarakat kita akan tertinggal saat menghadapi dunia yang (mungkin) didominasi oleh kecerdasan buatan. 

Di sisi lain, cepat atau lambat peralihan semua hal menjadi wujud digital adalah sebuah keniscayaan. Suka atau tidak, pembelajaran daring akan menjadi moda pembelajaran yang (pasti) menjadi sebuah kebiasaan. Bayangan sederhananya seperti ini, dulu transaksi di bank terbatas ruang; tempat; dan waktu. Kini semua transaksi cukup dilakukan lewat gerakan-gerakan jari. Awalnya beberapa orang tetap bertahan dengan sistem konvensional, namun karena tuntutan zaman (mau atau tidak), pada akhirnya semua orang mulai membiasakan diri dengan teknologi digital. Mulai dari sistem perbankan, pelayanan publik, transportasi umum, hingga pembelajaran. Tak hanya itu, digitalisasi nyatanya membuat beberapa hal terasa lebih praktis. Di saat pengajar (baik guru maupun dosen) sedang ada tugas belajar di luar negeri, pembelajaran tetap bisa berlangsung dengan menggunakan moda dalam jaringan. Begitu pula ketika peserta didik (baik siswa maupun mahasiswa) sedang tidak bisa menghadiri kelas sebab suatu hal yang mendesak, pembelajaran daring dapat ‘menyelamatkannya’ dari ketertinggalan materi pelajaran.

Lalu Memilih yang Mana?

Tibalah di ujung penantian atas dua kemungkinan yang telah dijelaskan, yakni memilih di antara ‘putus’ atau ‘terus’. Agaknya jawaban yang paling bijaksana dalam memutuskan di antara dua pilihan sulit ini adalah memilih berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi. Di wilayah dengan fasilitas pembelajaran daring yang dianggap layak dengan kondisi pendidik yang memiliki kemampuan literasi digital mumpuni, pembelajaran daring lebih direkomendasikan untuk diteruskan. Meskipun begitu, beberapa pelajaran yang perlu dilakukan praktikum tetap perlu dilaksanakan secara tatap muka. Artinya, tidak harus 100 persen pembelajaran daring. Begitu pula sebaliknya, di wilayah-wilayah 3T agaknya pembelajaran tatap muka tetap lebih direkomendasikan daripada pembelajaran daring dengan pertimbangan fasilitas sekaligus keamanan peserta didik. 

Akhir kata: Apakah pembelajaran daring lebih baik putus atau terus? Saya yakin pembaca sudah mengetahui jawabannya!

Tags:

-

Mengenal SEVIMA

SEVIMA merupakan perusahaan Edutech (education technology) yang telah berkomitmen sejak tahun 2004 dalam menyelesaikan kendala kerumitan administrasi akademik di pendidikan tinggi (Universitas, Sekolah Tinggi, Institut, Politeknik, Akademi, dll.) dengan 99% keberhasilan implementasi melalui SEVIMA Platform, segera jadwalkan konsultasi di: Kontak Kami

×