Kontak Kami

Berita

Universitas Pancasila Sodorkan 3 Poin Utama untuk RUU KUHAP

07 Nov 2025

SEVIMA.COM – RUU KUHAP penting mengatur key Performance Indicators sebagai alat ukur yang objektif menilai tindakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Semua bentuk upaya paksa perlu parameter yang clear demi kepastian hukum.

Komisi III DPR melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dengan mengundang berbagai kelompok masyarakat untuk memberikan masukan. Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi III DPR menerima perwakilan dari Universitas Pancasila, Universitas Banten Jaya dan akademisi FH Universitas Sultan Ageng Tirtayasa serta Ikatan Notaris Indonesia (INI).

Rektor Universitas Pancasila, Prof Adnan Hamid mengatakan RUU KUHAP membutuhkan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat untuk menjawab tantangan hukum formil pidana di masa depan. Setidaknya Universitas Pancasila telah membuat kajian untuk masukan RUU KUHAP.

“Kajian mendalam dan rekomendasi RUU KUHAP kami terlampir di lampiran sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan Komisi III,” katanya dalam RDPU dengan Komisi III DPR, Kamis (06/11/2025).

Menambahkan Adnan, Guru Besar Universitas Pancasila, Profesor Agus Surono mengatakan hasil kajian Universitas Pancasila menyodorkan sedikitnya 3 poin utama untuk RUU KUHAP. Pertama, penyelidikan dan penyidikan yang dimulai dari Pasal 59 RUU KUHAP, penting untuk diatur key Performance Indicators (KPI) sebagai alat ukur yang objektif menilai tindakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

“Untuk memastikan apakah penyelidikan bisa dilanjutkan ke tahap penyidikan,” ujarnya.

Kedua, upaya paksa. Antara lain Pasal 97 ayat (3) soal penahanan, Prof Agus merekomendasikan agar diatur parameter yang jelas pada poin f yakni ‘situasi berdasarkan penilaian penyidik’ harus memberikan kepastian hukum. Penggeledahan sebagaimana Pasal 110 ayat (5), khususnya frasa poin d ‘situasi berdasarkan penilaian penyidik’ harus memberikan kepastian hukum, perlu parameter terhadap penilaian penyidik. Pidana denda ini harus didahulukan dalam pidana korporasi.

“Semua bentuk upaya paksa perlu parameter yang clear dan tujuannya untuk memberi kepastian hukum,” usulnya.

Ketiga, Pidana korporasi, khususnya perjanjian penundaan penuntutan. Perlu mengatur mekanisme setelah korporasi membayar pidana denda. Pasal 320 ayat (2) dan ayat (3) ditambah ketentuan mengenai tindak pidana apa saja yang  dapat dilakukan dengan mekanisme Perjanjian Penundaan Penuntutan pada tindak pidana oleh Korporasi.

“Serta tambahan Pasal mengenai mekanisme terhadap Tindak Pidana oleh Korporasi bagi Korporasi yang telah membayar pidana berupa denda,” ujarnya.

Dalam rapat tersebut Rektor Universitas Banten Jaya sekaligus akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Prof Dadang Herli Saputra, menyoroti 3 isu pokok dalam RUU KUHAP. Pertama, penerapan diferensiasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum harus dipertahankan sebagai pilar utama sistem peradilan pidana terpadu.

Yakni dengan penegasan batas kewenangan agar koordinasi tidak berubah menjadi intervensi. Hubungan kedua institusi tersebut harus bersifat setara dan koordinatif, sehingga prinsip checks and balances dapat berjalan secara efektif.

Kedua, kebijakan penangkapan dan penahanan tanpa izin hakim (judicial authorization) merupakan pendekatan yang tepat dalam konteks hukum acara pidana Indonesia yang berkarakter inquisitorial selama diimbangi dengan pengawasan yudisial melalui mekanisme praperadilan yang kuat dan transparan.

Ketiga, diperlukan kejelasan batas antara penyelidikan dan penyidikan, khususnya mengukur 2 alat bukti permulaan yang sah sebagai dasar peningkatan perkara. Kemudian 2 alat bukti pada tahap penyelidikan harus dipahami secara administratif dan indikatif, berbeda dari 2 alat bukti pro justitia pada tahap penyidikan maupun pembuktian di pengadilan. Standarisasi ini penting agar proses pidana tidak bergeser dari asas legalitas dan proporsionalitas.

“Perlu diatur kejelasan batas penyelidikan dan penyidikan. Salah satu isu mendasar di RUU KUHAP soal batas tegas tahap penyelidikan dan penyidikan dari segi norma, tujuan maupun indikator transisi dari satu tahap ke yang lain,” imbuhnya.

Atur pemanggilan notaris

Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia (INI), Irfan Ardiyansyah, mekankan urgensi RUU KUHAP mengatur pemanggilan notaris untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan proses peradilan. Pengambilan dan penyitaan akta notaris serta mekanisme pemeriksaan notaris.

“Penting RUU KUHAP mengatur tegas perlindungan akta otentik agar tidak terjadi salah paham antar aparat penegak hukum untuk mengasumsikan atau delegasikan suatu berkas perkara,” urainya.

Menambahkan irfan, perwakilan pengurus INI lainnya, Widyatmoko, mengusulkan harmonisasi RUU KUHAP dengan UU lainnya seperti UU No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Harmonisasi itu penting untuk mencapai kepastian hukum. Mengingat UU 2/2014 mengatur perlindungan hukum khusus bagi notaris seperti pemanggilan pemeriksaan terhadap notaris dan penyitaan protokol notaris.

“Prinsip Lex specialis derogat legi generali harus dipertahankan dan diperkuat RUU KUHAP,” tegasnya.

Sumber: hukumonline.com

Diposting Oleh:

Vinggi SEVIMA

Tags:

RDPU rektor Universitas Pancasila

Mengenal SEVIMA

SEVIMA merupakan perusahaan Edutech (education technology) yang telah berkomitmen sejak tahun 2004 dalam menyelesaikan kendala kerumitan administrasi akademik di pendidikan tinggi (Universitas, Sekolah Tinggi, Institut, Politeknik, Akademi, dll.) dengan 99% keberhasilan implementasi melalui SEVIMA Platform, segera jadwalkan konsultasi di: Kontak Kami

Video Terbaru

🔴LIVE - Webinar Nasional: Strategi Sukses Menulis Artikel SCOPUS Pertama dan Mendapatkan ID Scopus