Kontak Kami

Dunia Kampus

Ketika Siklus PPEPP SPMI Terasa Seperti “Black Box” di Kampus

24 Oct 2025

SEVIMA.COM– Dalam beberapa tahun terakhir mendampingi puluhan perguruan tinggi dalam implementasi sistem penjaminan mutu, saya menemukan satu pola yang konsisten: banyak kampus yang memiliki dokumen SPMI lengkap, namun kesulitan memantau pelaksanaannya secara sistematis.

Pagi itu, saya kembali merefleksikan pengalaman dari tiga kunjungan kampus minggu lalu, sebuah universitas swasta di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan sebuah politeknik di Jawa Barat. Meskipun berbeda profil dan skala, ketiga institusi ini menghadapi tantangan serupa dalam monitoring siklus PPEPP.

Di kampus pertama, saya bertemu dengan tim SPMI yang tengah bersiap untuk audit eksternal. Mereka menunjukkan tumpukan dokumen yang rapi sesuai standar sudah ditetapkan, program kerja tersusun, bukti-bukti pelaksanaan terdokumentasi. Namun ketika saya bertanya, “Dari 12 program studi, berapa yang sudah menyelesaikan tahap evaluasi untuk standar penelitian semester ini?” mereka membutuhkan waktu untuk menelusuri laporan dari masing-masing prodi.

Di kampus kedua, situasinya berbeda tapi esensinya sama. Tim SPMI mereka sudah menggunakan data pada Ms. Excel yang cukup terstruktur untuk tracking. Namun dashboard tersebut hanya di-update setiap akhir bulan, sehingga data yang tersedia tidak real-time. “Kami sering terlambat mengetahui bahwa ada prodi yang tertinggal,” ujar salah satu anggota tim.

Sementara di kampus ketiga, saya melihat upaya yang sangat manual: whiteboard besar di ruang SPMI dipenuhi sticky notes berwarna-warni untuk tracking progress setiap prodi. Kreatif, memang. Tapi ketika salah satu anggota tim sedang cuti atau dinas luar, sistem ini menjadi sulit diakses oleh yang lain.

Dari semua interaksi ini, satu pertanyaan mendasar muncul: bagaimana memantau ratusan aktivitas PPEPP di seluruh program studi tanpa harus kehilangan visibilitas?

Kompleksitas di Balik Siklus PPEPP

Mari kita hitung bersama. Apabila sebuah universitas dengan 14 program studi, masing-masing memiliki 24 standar DIKTI. Setiap standar harus melewati lima tahapan dalam siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Itu berarti ada 1.680 aktivitas yang harus dipantau setiap siklusnya.

Bayangkan jika tim SPMI hanya terdiri dari enam hingga delapan orang dengan sebagian di antaranya adalah dosen yang merangkap tugas. Bagaimana mereka bisa memastikan bahwa setiap tahapan berjalan sesuai timeline? Bagaimana mereka tahu prodi mana yang butuh dukungan lebih intensif?

Dari berbagai kampus yang saya kunjungi, tantangan yang muncul umumnya serupa:

Pertama, data tidak terintegrasi. Setiap prodi mengirimkan laporan dalam format yang berbeda-beda, ada yang Excel, ada yang Word, ada yang scan dokumen. Tim SPMI harus mengkonsolidasikan manual, proses yang memakan waktu dan rentan kesalahan.

Kedua, tidak ada early warning system. Ketika sebuah prodi terlambat menyelesaikan tahap evaluasi, tim SPMI baru mengetahuinya saat deadline sudah lewat atau bahkan saat persiapan audit. Momentum untuk intervensi dini sudah terlewat.

Ketiga, sulit melakukan analisis strategis. Ketika pimpinan bertanya, “Standar apa yang paling sering mengalami kendala di tahap pengendalian?” atau “Mengapa prodi A lebih cepat menyelesaikan siklus dibanding prodi B?”, tim SPMI membutuhkan waktu lama untuk menyusun analisisnya.

Dampak Nyata dari Monitoring yang Tidak Efektif

Dari pengalaman mendampingi kampus-kampus ini, saya mencatat beberapa dampak konkret yang sering terjadi:

Saat visitasi akreditasi, tim asesor meminta bukti pelaksanaan siklus PPEPP untuk standar tertentu. Tim SPMI harus menghubungi prodi, menunggu respons, kemudian menyusun dokumentasinya. Prosesnya tidak seamless, dan kadang membuat proses visitasi terhambat.

Dalam rapat pimpinan, Rektor atau Wakil Rektor meminta data progress SPMI untuk keperluan evaluasi strategis. Tim SPMI memerlukan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk mengumpulkan dan mengolah data dari semua unit, padahal keputusan perlu diambil segera.

Untuk alokasi sumber daya, tanpa visibilitas yang jelas tentang prodi mana yang struggle dan di tahap apa mereka terkendala, tim SPMI sulit melakukan intervensi yang tepat sasaran. Akhirnya, support diberikan secara merata, bukan berdasarkan kebutuhan aktual.

Salah satu koordinator SPMI pernah berkata kepada saya, “Mas Anjar, kami merasa seperti mengendarai mobil di malam hari tanpa lampu depan. Kami tahu harus jalan, tapi tidak bisa melihat apa yang ada di depan.”

Dari Reaktif Menjadi Proaktif

Setelah puluhan diskusi dengan berbagai kampus, saya mulai memahami bahwa masalah ini bukan sekadar tentang tools atau aplikasi. Ini tentang bagaimana membangun sistem yang memberikan visibilitas penuh dan mendukung pengambilan keputusan berbasis data.

Sistem monitoring SPMI yang efektif seharusnya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis ini dalam hitungan detik:

  • Prodi mana yang progress-nya paling lambat?
  • Standar apa yang paling sering terkendala?
  • Tahap PPEPP mana yang menjadi bottleneck?
  • Apa root cause dari kendala yang berulang?
  • Intervensi apa yang perlu dilakukan segera?

Ketika visibilitas sudah terbangun, tim SPMI tidak lagi menghabiskan 70% waktunya untuk “mencari tahu apa yang terjadi”, tapi bisa fokus pada 70% waktu untuk “memperbaiki apa yang perlu diperbaiki”. Ini yang membedakan antara SPMI yang reaktif dengan SPMI yang proaktif.

Innovation that understands education bukan sekadar jargon—ini tentang teknologi yang dirancang dengan pemahaman mendalam terhadap kompleksitas akademik dan kebutuhan riil institusi pendidikan.

Refleksi untuk Perguruan Tinggi Indonesia

Dari pengalaman mendampingi ratusan kampus, saya melihat bahwa komitmen terhadap SPMI di Indonesia sebenarnya sangat tinggi. Tim-tim SPMI bekerja keras, pimpinan memberikan dukungan, dokumen-dokumen disusun dengan serius.

Namun tanpa sistem monitoring yang sistematis, semua upaya tersebut tidak bisa dimaksimalkan. Siklus PPEPP yang seharusnya menjadi jantung penjaminan mutu justru berubah menjadi “black box” yang sulit dipantau. Dan ketika monitoring tidak efektif, peningkatan mutu berkelanjutan pun sulit tercapai.

Pertanyaan untuk kampus Anda:

  • Apakah Anda bisa melihat progress PPEPP seluruh prodi secara real-time?
  • Apakah sistem Anda memberikan early warning ketika ada yang tertinggal?
  • Apakah data SPMI Anda bisa mendukung pengambilan keputusan strategis?

Jika jawabannya belum sepenuhnya “ya”, mungkin saatnya untuk mempertimbangkan transformasi dalam cara kampus memantau pelaksanaan SPMI.

Karena di era transformasi digital pendidikan tinggi ini, kampus yang unggul bukan hanya yang memiliki standar mutu yang baik, tetapi juga yang mampu memantau, mengevaluasi, dan meningkatkan standar tersebut secara sistematis dan berkelanjutan.

Jika tantangan monitoring siklus PPEPP yang saya ceritakan di atas terasa familiar bagi kampus Anda, Anda tidak sendiri. Ratusan perguruan tinggi di Indonesia telah mempercayakan pengelolaan SPMI mereka dengan Modul SPMI SEVIMA Platform.

Mari diskusikan kebutuhan SPMI kampus Bapak/Ibu dengan tim expert kami. Kami siap membantu Anda merancang solusi monitoring PPEPP yang tepat untuk institusi Bapak/Ibu.

Atau hubungi saya langsung melalui nomor  0822-6161-0404 untuk diskusi lebih lanjut. Dengan senang hati saya akan membantu kampus Bapak/Ibu mewujudkan SPMI yang terukur, sistematis, dan berkelanjutan.

Bersama SEVIMA, transformasi SPMI kampus Anda dimulai hari ini.

Ditulis oleh  Anjar  SEVIMA

Diposting Oleh:

Seprila Mayang SEVIMA

Tags:

dokumen spmi spmi

Mengenal SEVIMA

SEVIMA merupakan perusahaan Edutech (education technology) yang telah berkomitmen sejak tahun 2004 dalam menyelesaikan kendala kerumitan administrasi akademik di pendidikan tinggi (Universitas, Sekolah Tinggi, Institut, Politeknik, Akademi, dll.) dengan 99% keberhasilan implementasi melalui SEVIMA Platform, segera jadwalkan konsultasi di: Kontak Kami

Video Terbaru

🔴LIVE - Webinar Nasional: Strategi Sukses Menulis Artikel SCOPUS Pertama dan Mendapatkan ID Scopus