Hari ini - Event Webinar Premium: Navigasi Risiko Keuangan untuk Keberlanjutan Perguruan Tinggi Dimulai.

Selengkapnya
Kontak Kami

Opini • 23 Feb 2024

Pengenalan Kurikulum Outcome-Based Education di Perguruan Tinggi

Erna SEVIMA

Oleh: Ate Gueen Simanungkalit, FKIP Universitas Klabat Airmadidi, Sulawesi Utara

Di tingkat perguruan tinggi Outcome-Based Education (OBE) atau pendidikan berbasis capaian adalah filosofi dan pendekatan pendidikan yang pertama digagas oleh Wiliam Spady (1994) dengan memberikan penekanan kuat pada pendefinisian hasil atau capaian pendidikan. Dalam sistem OBE, capaian dan sasaran pendidikan adalah dasar utama untuk merancang kurikulum sebelum dilaksakan proses pembelajaran dan penilaian. Dengan kata lain, capaian pendidikan adalah langkah pertama dalam perancangan kurikulum, pembelajaran, dan penilaian. Demikian juga capaian pembelajaran ditentukan sebelum pemilihan materi ajar, metode pembelajaran, dan sistim penilaian. Mahasiswa dan dosen sama-sama berupaya menggapai capaian tersebut, dan penilaian difokuskan pada seberapa baik mahasiswa menggapai capaian tersebut. Rancangan kurikulum OBE meliputi:

Kejelasan Capaian Pendidikan dan Pembelajaran

OBE memerlukan definisi capaian pendidikan dan capaian pembelajaran yang spesifik dan terukur secara kuantitatif dan/atau kualitatif. Capaian ini merupakan kompetensi sikap, ketrampilan, dan pengetahuan yang mahasiswa harus mengingat, memahami, menganalisis, mengevaluasi, menciptakan, dan mampu melakukan dengan penerapan integrasi sikap dan nilai-nilai moral yang bersifat universal dan mencakup berbagai aspek perbedaan sosial, budaya, etnis, dan agama (Junadi et al., 2020; Rao, 2020; Wilson, 2016; Anderson et al., 2001).

Capaian pendidikan atau program studi dijabarkan dalam capaian pembelajaran rumpun mata kuliah atau satuan mata kuliah. Capaian pendidikan yang dirumuskan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT) seharusnya diterjemahkan oleh setiap perguruan tinggi sesuai realita kualifikasi regional dan lokal. Jabaran KKNI jenjang enam, seringkali tidak sepadan dengan kualifikasi yang dibutuhkan lokal, karena tidak benar-benar spefisik dan terukur baik secara kuantitatif dan/atau kualitatif. Capaian kompetensi lulusan regional seharusnya ditetapkan secara fleksibel (Dody, 2023) sesuai kebutuhan sumber daya manusia secara regional dan lokal.

Keselarasan Kurikulum, Pembelajaran, dan Penilaian

Pendekatan OBE ini bertujuan untuk mempersiapkan mahasiswa menghadapi tantangan yang akan mereka hadapi dalam karir masa depan dan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Rancangan kurikulum OBE seperti ini didasarkan pada hasil observasi lapangan dan masukan alumni melalui tracer study, stakeholers, dan users karena merekalah pihak yang lebih mengetahui kebutuhan di dunia nyata.

Kurikulum OBE bukan hanya berisi daftar mata kuliah yang harus dipelajari oleh mahasiswa, tetapi lebih pada materi ajar, metode pembelajaran, dan sistim peniliaan. Kurikulum OBE tidak bersifat preskriptif yang kaku, tetapi harus fleksibel mengikuti perkembangan dan perubahan yang terjadi begitu cepat seiring dengan perkembangan teknologi dalam era digital, di mana Artificial Intelligence sangat mempengaruhi kehidupan manusia.

Tapi kurikulum seringkali “dibajak” oleh buku-teks dari percetakan, di mana buku-teks akhirnya mendikte materi ajar, metode pembelajaran, dan sistim asesmen capaian pembelajaran (Jacobs & Zmuda, 2023) melalui dosen yang mungkin kurang persiapan untuk kegiatan pembelajaran.

Metode pembelajaran yang lebih cocok untuk perguruan tinggi ialah pendekatan pembelajaran yang berpusat-pada-mahasiswa (student-centered learning) di mana mahasiswa lebih aktif dan bertanggung jawab untuk pembelajarannya sendiri dan dosen lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator bukan diktator (teacher-centered learning) yang maha tahu dan tak-terbantah. Dalam pendekatan inquiry-based learning, dosen memainkan peran sebagai fasilitator, dan bukan hanya sekedar berikan kuliah (teacher-centered learning) kemudian diikuti dengan diskusi. Selain itu, berbagai model cooperative learning sangat dianjurkan untuk pembelajaran di tingkat perguruan tinggi.

OBE mencakup sistem penilaian yang spesifik sehingga capaian sikap, ketrampilan, dan pengetahuan bisa terukur secara kuantitatif dan/atau kualitatif. Untuk pengukuran terhadap capaian, diperlukan rubrik yang menjabarkan butir-butir capaian dengan skala penilaian dalam persentasi dan/atau huruf A, B, C, dan D atau F, sesuai criterion-reference assessment, di mana penilaian capaian didasarkan pada berapa besar capaian pembelajaran yang diperoleh seusai kriteria atau standar yang telah ditentukan lebih dulu. Tapi dosen juga menggunakan norm-reference assessment, di mana penilaian capaian seseorang mahasiswa dibandingkan dengan capaian mahasiswa-mahasiswa lain yang mengambil mata kuliah yang bersangkutan, dengan menggunakan rumus statistik median atau nilai rerata berdasarkan normal distribution curve.

Di samping itu, sistim penilaian harus bersifat berkelanjutan selama proses pembelajaran agar didapatkan gambaran yang lebih akurat tentang capaian akhir dari mahasiswa yang dinilai itu. Untuk itu diperlukan sistim penilaian formatif dan sumatif. Penilaian hasil kuis, tes bulanan, atau tes per capaian pembelajaran adalah penilaian formatif yang dapat digunakan dosen dan mahasiswa untuk menyesuaikan materi ajar dan metode pembelajaran sedemikian rupa agar hasil pembelajaran akhir bisa lebih baik dalam penilaian sumatif, yaitu Ujian Akhir Semester (UAS) yang menentukan kelulusan seorang mahasiswa dari sebuah pembelajaran mata kuliah. Rerata penilaian sumatif dari berbagai mata kuliah menentukan kelulusan mahasiswa dari suatu program studi.

Namun, ada sedikitnya tiga kelemahan sistim penilian OBE ialah, pertama, pemusatan yang berlebihan pada tes standar sebagai satu-satunya cara untuk mengukur kelulusan pembelajaran, yaitu pada saat hanya menggunakan criterion-reference assessment. Ini dapat menyebabkan pengabaian pendekatan pembelajaran yang lebih kreatif dan menyenangkan. Di samping itu, keterbatasan penilaian secara obyektif untuk capaian sikap pembelajaran, yang mencakup aspek sosial, emosional, atau etika, mungkin sulit untuk diukur secara obyektif. Kelemahan terakhir ialah sulitnya diterapkan penilaian yang konsisten untuk waktu yang Panjang, disebabkan adanya perubahan kebutuhan pasar kerja. Namun, untuk kelemahan ini, setiap perancang kurikulum dan pembelajaran harus memiliki komitmen dan tekad pribadi untuk pro-kemajuan dan pantang status-quo.

Artikel ini sebelumnya telah terbit di Kumparan.com

Tags:

kurikulum obe obe Sevima sevima platform

Mengenal SEVIMA

SEVIMA merupakan perusahaan Edutech (education technology) yang telah berkomitmen sejak tahun 2004 dalam menyelesaikan kendala kerumitan administrasi akademik di pendidikan tinggi (Universitas, Sekolah Tinggi, Institut, Politeknik, Akademi, dll.) dengan 99% keberhasilan implementasi melalui SEVIMA Platform, segera jadwalkan konsultasi di: Kontak Kami

×