Dunia Kampus • 04 Oct 2024
Dunia Kampus • 12 Sep 2022
Implementasi Kurikulum MBKM Program Studi S1 Ilmu Politik FISIP UWKS
Fadhol SEVIMA
Penulis: Galang Geraldy, S.IP.,M.IP
Kampus: Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS)
Berangkat dari dinamika globalisasi dan demokrasi yang kian membutuhkan lompatan lompatan serta inovasi daya, cipta dan karya, maka menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan kompetitif menjadi sebuah keniscayaan. Untuk itu, melalui kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggagas sebuah konsep Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) untuk menjawab peluang dan tantangan di atas.
Bila di kupas secara konseptual, kebijakan MBKM (Kemendikbud,2020) terdapat empat penyesuaian kebijakan di lingkup Perguruan Tinggi yakni penyusunan kurikulum, praktik kerja atau magang, dan penempatan kerja mahasiswa bekerja sama antara Perguruan Tinggi dan Mitra untuk melakukan pengawasan serta tracer study yang wajib dilaksanakan oleh PTN dan PTS. Program yang kedua adalah program re-akreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah naik peringkat yang masa berlakunya selama 5 tahun, namun akan diperbaharui secara otomatis.
Baca juga: Apa Itu OBE, Penerapan dan Penilaiannya?
Selanjutnya, program yang ketiga adalah kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum dan Satuan kerja untuk menjadi PTN Badan Hukum. Program yang keempat yakni memberikan hak belajar mahasiswa sejumlah 20 sistem kredit semester (sks) di luar program studi dalam satu perguruan tinggi yang sama dan 40 sks di luar program studi di perguruan tinggi yang berbeda. Di antara itu, poin paling fundamental bagi pembelajaran dan inovasi perkuliahan secara luas adalah hak belajar mahasiswa di luar program studi.
Esensi kebijakan tersebut adalah memberikan hak kepada mahasiswa untuk memperoleh pengalaman terbaik (best experiences) selama maksimal 3 semester (20-40 sks) yang diperoleh di luar prodi dalam perguruan tinggi yang sama dan di luar prodi pada perguruan tinggi yang berbeda dan diluar perguruan tinggi. Implementasi Merdeka Belajar (Nadiem, 2019) sejalan dengan filosofi demokrasi pendidikan (Freire, 2001). Di dalam aktivitasnya terlibat interaksi antara peserta didik dengan sejumlah sumber belajar.
Dosen sebagai pendidik sekaligus berperan sebagai salah satu sumber belajar dan mahasiswa sebagai peserta didik, secara hakiki tidak berbeda, keduanya dalam proses dinamis “untuk menjadi” (on becoming). Dosen sebagai salah satu sumber belajar artinya masih banyak sumber belajar lain yang dapat dipilih oleh mahasiswa dan konsekuensinya dosen memiliki kewajiban untuk memberi keleluasaan pada mahasiswa dalam menentukan pilihan sumber lain maupun cara dan tempat belajarnya yang sesuai dengan minatnya
Berangkat dari hal di atas, Program Studi S1 Ilmu Politik FISIP UWKS mengajukan untuk reorientasi kurikulum melalui skema hibah dari Kemendikbud tahun 2020. Melalui serangkaian upaya, Prodi Ilmu Politik berhasil memperoleh dana hibah Kemendikbud untuk penyesuaian kurikulum MBKM. Hal ini menjadi satu diantara dua Prodi Ilmu Politik se-Indonesia yang memperoleh hibah tersebut.
Tantangan sebagai pilot project kurikulum MBKM baik di dalam maupun di luar universitas mulai dari penyesuaian capaian pembelajaran lulusan (CPL), rencana pembelajaran semester (RPS), orientasi mata kuliah yang berbasis pada kegiatan MBKM sampai membangun jejaring kerjasama dengan pihak luar guna mendukung terlaksananya pengalaman belajar mahasiswa.
Paradigma Kurikulum MBKM Prodi Ilmu Politik
Landasan dalam melakukan reorientasi yaitu melalui Surat Keputusan Rektor Universitas Wijaya Kusuma Surabaya No. 82 dan 83 Tahun 2020 tentang Kurikulum Merdeka Belajar – Kampus Merdeka dan Surat Keputusan Rektor Universitas Wijaya Kusuma Surabaya No. 191 Tahun 2020 tentang Kurikulum Pendidikan Tinggi berbasis Merdeka Belajar – Kampus Merdeka Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Proyek utama adalah melakukan reorientasi dan rekonstruksi kurikulum.
Kurikulum memegang kedudukan kunci suatu lembaga pendidikan, sebab berkaitan dengan penentuan arah, isi, dan proses pendidikan, yang pada akhirnya menentukan macam dan kualitas lulusan suatu lembaga. Oleh karena itu buku panduan kurikulum MBKM menjadi sangat penting karena akan membimbing praktisi penyusun kurikulum di tingkat program studi untuk merancang dokumen kurikulum. Berawal dari dokumen kurikulum inilah kualitas suatu program studi menjadi parameter utama.
Secara garis besar kurikulum, sebagai sebuah rancangan, terdiri dari empat unsur, yakni capaian pembelajaran, bahan kajian yang harus dikuasai, strategi pembelajaran untuk mencapai, dan sistem penilaian ketercapaiannya. Panduan kurikulum MBKM berisi tahapan penyusunan kurikulum mulai dari yang bersifat strategis seperti merumuskan unsur-unsur kompetensi, bobot kajian, capaian pembelajaran, struktur mata kuliah, dan teknis pelaksanaan MBKM.
Kurikulum MBKM setidaknya harus mengandung lima paradigma penting yaitu ;
1. Experimental Learning (Carl Rogers)
Pembelajaran eksperimen (experimental learning) adalah proses aktif di mana mahasiswa mempelajari informasi melalui penemuan dan eksplorasi. Pembelajaran ini dilandasi oleh pendekatan yang berpusat pada mahasiswa dalam menangani kebutuhan dan keinginan setiap mahasiswa. Belajar terjadi baik dari keberhasilan maupun kesalahan, dan membantu mahasiswa mengembangkan keterampilan, sikap, dan teknik pemecahan masalah yang baru.
Rogers memperkenalkan gagasan dua jenis pembelajaran berbeda dalam teori ini: kognitif dan pengalaman dengan fokus pada pengalaman dan situasi dunia nyata. Rogers menegaskan “If we value independence, if we are disturbed by the growing conformity of knowledge, of values, of attitudes, which our present system induces, then we may wish to set up conditions of learning which make for uniqueness, for self-direction, and for self-initiated learning.” (Rogers,1969).
2. Contextual Teaching Learning (Johnson)
Pembelajaran kontekstual dilatarbelakangi persoalan peserta didik “tidak dapat menghubungkan antara sesuatu yang sudah pelajari dengan cara memanfaatkannya di dunia riil”. Oleh karena itu Merdeka Belajar menghadapkan dosen pada tantangan dan masalah bagaimana mencari cara yang terbaik untuk menyampaikan konsep-konsep yang diajarkan di kampus membawa manfaat bagi mahasiswa yang akan menggunakan konsep-konsep itu.
Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab antara lain: bagaimana suatu materi perkuliahan dapat dipahami dalam hubungannya dengan materi yang lain sehingga merupakan satu kesatuan? Bagaimana aktivitas perkuliahan mendekati aktivitas kerja yang akan dihadapi mahasiswa di dunia nyata?, bagaimana proses perkuliahan bisa menerobos dinding teoritis kampus dan menembus pada kehidupan yang sesungguhnya?.
3. Transformative Learning (Mezirow)
Pembelajaran transformatif (Transformative Learning) adalah teori pembelajaran orang dewasa yang memanfaatkan tantangan pemikiran mahasiswa dalam memecahkan suatu masalah. Kemudian mahasiswa didorong untuk menggunakan pemikiran kritisnya sekaligu mempertimbang-kan asumsi dan keyakinan mendasar untuk memecahkan masalah tersebut.
Paradigma ini menggambarkan bagaimana manusia mengembangkan dan menggunakan refleksi diri yang kritis untuk mempertimbangkan keyakinan dan pengalaman mereka, dan seiring waktu, mengubah cara disfungsional untuk melihat dunia. Mezirow (2009) tertarik pada pandangan dunia orang-orang dan sesuatu yang membuat orang mengubah pandangan tentang dunia nyata. Dilema yang membingungkan sekaligus menjadi tantangan bagi mahasiswa sering terjadi dalam konteks lingkungan belajar akademik, karena dosen memberikan kesempatan agar mahasiswa menggunakan berpikir kritisnya.
Dosen yang memanfaatkan pembelajaran transformatif dapat mempertimbangkan menerapkan peluang berikut; a) memberi kesempatan untuk berpikir kritis; b) memberikan
kesempatan untuk berhubungan dengan orang lain melalui proses transformatif yang sama. Transformasi sering terjadi di masyarakat ketika mahasiswa saling memunculkan ide dan terinspirasi oleh perubahan yang dibuat teman; c) memberikan kesempatan untuk bertindak berdasarkan perspektif baru dan temuan baru.
4. Learning by Doing (John Dewey)
Belajar sambil berbuat (learning by doing) adalah suatu metoda belajar yang melandasi pembelajaran dengan cara menyatukan pemikiran dan tindakan. Pandangan Dewey tentang filosofi pendidikan bahwa pendidikan selalu dalam proses pengembangan dimana peserta didik akan merekonstruksi pengalaman mereka di alam (Dewey, 1910).
Oleh karena itu dalam sistem pendidikan apa pun, pendidik harus siap secara berkelanjutan memodifikasi konten dan metode pembelajaran untuk mengatasi pengetahuan baru di lingkungan baru. Dengan demikian, hakikat pendidikan bukanlah transmisi konsep abadi tertentu tentang kebaikan dan kebenaran, tetapi rekonstruksi pengalaman secara berkelanjutan (Dewey, 1910).
Filosofi ini menekankan bahwa peran dosen adalah untuk mengelola lingkungan belajar sehingga mahasiswa dapat mengalami, mendekati, dan menyelesaikannya masalah melalui metode pemecahan masalah. Merujuk pada perspektif Dewey, maka pendidikan harus memungkinkan mahasiswa untuk menggunakan pengalaman mereka sendiri dalam menafsirkan lingkungan di sekitar mereka.
Dengan melakukan itu, mahasiswa kemudian memiliki kemampuan untuk rekonstruksi pengetahuan menjadi lebih luas dan mendalam karena keterlibatannya secara langsung. Dewey percaya bahwa manusia menggunakan banyak teknik pemecahan masalah ketika menghadapi masalah tersebut di lingkungan baru. Namun teknik pemecahan yang paling efektif adalah metode ilmiah. Dewey mengembangkan metode ilmiah ke dalam teorinya belajar, karena pembelajaran terjadi sebagai akibat dari tindakan manusia di lingkungan dan sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.
Ketika mahasiswa berusaha untuk memecahkan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari, kemungkinan yang terjadi adalah berhasil atau gagal. Gagal pun adalah suatu pengalaman yang akan memperkaya pengetahuan dan sikap, serta keterampilan. Dengan demikian, pendidikan harus didasarkan pada pengalaman mahasiswa untuk membantu mereka memecahkan masalah nyata dalam hidup mereka (Dewey, 1960). Jika pembelajaran hanya membicarakan konten maka lembaga pendidikan akan sulit membangkitkan minat mahasiswa dan pembelajaran menjadi terasing dari dunia nyata, mahasiswa pun terpenjara dari lingkungan yang sebenarnya.
5. Pendidikan yang Memerdekakan (Ki Hajar Dewantara)
Ki Hadjar Dewantara meyakini bahwa pendidikan dalam konteks yang sesungguhnya berkenaan dengan upaya memahami dan mengayomi kebutuhan peserta didik sebagai
subyek pendidikan. Dalam konteks ini tugas pendidik adalah mengembangkan potensi potensi peserta didik, menawarkan pengetahuan kepada peserta didik dalam suatu dialog.
Semuanya itu dimaksudkan untuk memantik dan mengungkapkan gagasan-gagasan peserta didik tentang suatu topik tertentu sehingga yang terjadi adalah pengetahuan tidak ditanamkan secara paksa tetapi ditemukan, diolah dan dipilih oleh peserta didik.Ketika seseorang berpikir maka ia menyikapi realitas. Realitas yang disikapi adalah realitas yang dimaknai. Pemaknaan atas realitas dari dan oleh seseorang melalui aktivitas berpikirnya, yang ditujukan baik untuk dirinya sendiri maupun juga untuk orang lain, dalam arti tertentu merupakan bagian dasar dari pendidikan.
Itulah sebabnya mengapa berpikir tentang hal-hal yang bermakna untuk perkembangan kehidupan dalam arti seluas-luasnya tergolong sebagai aktivitas belajar atau proses pendidikan. Maka dapat dipastikan tidak ada yang namanya pendidikan jika tidak bermula dari kegiatan berpikir tentang makna hidup, nilai-nilai hidup dan bagaimana mengembangkan kehidupan itu sendiri, membentuknya menjadi manusiawi.
Dalam konteks itu pula, gagasan-gagasan seorang Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan pertama-tama merupakan upayanya berpikir untuk menyiasati perwujudan kondisi kehidupan yang bermakna, bernilai, bermartabat dan bersahaja. Kehidupan demikian tentu menjadi prioritas penjajah bagi golongannya, tapi tidaklah demikian bagi golongan bumiputera (terjajah).
Gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara seputar pendidikan merupakan tanggapan kritisnya terhadap kebutuhan golongan terjajah pada zamannya. Ia berpikir perihal bagaimana mencerdaskan orang-orang yang senasib dengan dirinya agar mereka sadar akan hak-hak hidupnya. Dalam rangka itu pula, Ki Hadjar Dewantara sebetulnya telah berupaya membuka jalan untuk mengatasi persoalan kesenjangan sosial dan pelanggaran hak-hak manusia pada masanya.
Implementasi Kurikulum MBKM
Program Studi S1 Ilmu Politik dalam mengembangkan kurikulum menggunakan pendekatan akademik (perkembangan keilmuan politik), perkembangan sosial politik demokrasi, serta deliberasi antar stakeholder seperti alumni, pengguna lulusan, asosiasi ilmu politik dan seluruh sivitas akademika ilmu politik.
Adapun dua hal substansi yaitu aspek pendalaman dan perluasan (depth and breadth) yang sejalan dengan prinsip fleksibilitas yang diterapkan dalam kebijakan MBKM. a. Pendalaman pengalaman belajar (deep learning experiences), yaitu upaya untuk memperkuat dan meningkatkan penguasaan capaian pembelajaran untuk mewujudkan profil utama lulusan. Upaya tersebut dilakukan dengan mengintegrasikan pengalaman belajar secara intra/antarprodi /kampus maupun dengan kegiatan praktis di lapangan “integrated new information into existing knowledge … transfer knowledge from context to context” (Marton and Saljo, 1976).
- Perluasan pengalaman belajar (breadth learning experiences adalah upaya memberi peluang kepada mahasiswa untuk memperoleh pengalaman belajar secara lebih luas
dan bervariasi. Mahasiswa melakukan aktivitas pembelajaran di luar program studi, baik di lingkungan perguruan tingginya, di perguruan tinggi yang lain, maupun di lapangan “the key to the making curriculum rich is dialogue among participants” (Doll, 1995 :47).
- Pengalaman belajar yang mendalam dan luas, serta pengintegrasian sumber-sumber belajar yang diperoleh dari intra/antar prodi/perguruan tinggi, maupun dari kegiatan magang di lapangan, menegaskan bahwa kurikulum bukan hanya kumpulan daftar mata kuliah yang harus dipelajari mahasiswa untuk mencapai tujuan, melainkan juga berupa seluruh pengalaman pembelajaran yang diperoleh, baik dari dalam maupun dari luar untuk mencapai tujuan. “ Curriculum is all the experiences children have under the guidance of teachers” (Doak Campbell, 1930).
- Prinsip fleksibilitas dalam kurikulum berarti kurikulum harus memenuhi aspek keluwesan dalam memfasilitasi mahasiswa melakukan penyesuaian terhadap waktu, kemampuan, keragaman, minat, dan potensi, maupun mobilitasnya. Prinsip fleksibilitas meliputi:
1) fleksibilitas vertikal, yaitu dimungkinkannya prodi yang linear memberi kesempatan kepada mahasiswa yang memiliki potensi melakukan percepatan pembelajaran “program fast track”;
2) fleksibilitas horizontal, yaitu dimungkinkannya prodi menawarkan beberapa paket pilihan mata kuliah yang boleh diambil oleh mahasiswa sesuai dengan minat, potensi, dan kebutuhannya;
3) fleksibilitas lintas program studi /perguruan tinggi, yaitu mahasiswa dapat memperoleh sebagian pengalaman belajarnya dari program studi yang berbeda di lingkungan universitasnya, belajar pada prodi perguruan tinggi lain, maupun dari kegiatan magang di lapangan.
Gambar 2: Magang Mahasiswa Ilmu Politik di Kelurahan Gunungsari, Surabaya Gambar
Implementasi program MBKM perlu dirancang dengan cermat kesesuaian dengan CPL dan mata kuliah pada program studi dan kesepakatan kerjasama yang matang dengan mitra. Pengakuan kredit kegiatan MBKM dapat dilakukan dengan 3 bentuk yaitu bentuk terstruktur (structured form), bentuk bebas (free form) dan bauran keduanya (hybrid form) (Buku Panduan MBKM, 2020).
Tabel 1. Korelasi Sub-Kajian dan Mata Kuliah berbasis MBKM
No. |
Sub-Kajian |
CPL |
Mata Kuliah MBKM |
Aktivitas/Semester |
1 |
Manajemen Pemerintahan dan Tata Kelola Birokrasi |
Memiliki kompetensi dalam kajian konsep teoritis manajemen pemerintahan dan tata kelola birokrasi |
a. Perencanaan Pembangunan Daerah dan Pelayanan Publik b.Good Governance c. Politik dan Pemerintahan Desa |
Magang, Pertukaran Mahasiswa, Penelitian dan/ Proyek di Desa. Lokasi: Instansi Pemerintahan |
d.Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah |
Semester: V (20 sks) VI (20 sks) |
|||
2 |
Tata kelola Partai Politik dan Sistem Kepemiluaan |
Memiliki kompetensi dalam kajian konsep teoritis tata kelola partai politik dan sistem kepemiluaan |
a. Proses dan Teknik Perundang undangan b.Internship Legislatif c. Manajemen Organisasi Partai dan Marketing Politik d.Survey dan Quick Count |
Magang, Pertukaran Mahasiswa, Penelitian dan/ Proyek di Desa Lokasi : Partai Politik, DPR-D, KPU, Bwaslu, Lembaga Survey Semester: V (20 sks) VI (20 sks) |
3 |
Advokasi Sosial Masyarakat |
Memiliki kompetensi dalam kajian konsep teoritis politik advokasi sosial masyarakat dan penguatan civil society |
a. Politik dan Kesejahteraan Sosial b.Kewirausahaan Sosial c. Politik Pemberdayaan Masyarakat d.Gerakan Sosial dan Politik Indonesia e. Perspektif Gender dalam Politik |
Magang, Pertukaran Mahasiswa, Penelitian dan/ Proyek di Desa Lokasi: NGO, Lembaga Riset Semester: V (20 sks) VI (20 sks) |
Tags:
Mengenal SEVIMA
SEVIMA merupakan perusahaan Edutech (education technology) yang telah berkomitmen sejak tahun 2004 dalam menyelesaikan kendala kerumitan administrasi akademik di pendidikan tinggi (Universitas, Sekolah Tinggi, Institut, Politeknik, Akademi, dll.) dengan 99% keberhasilan implementasi melalui SEVIMA Platform, segera jadwalkan konsultasi di: Kontak Kami